-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Aceh 2003: Suara yang Dibungkam di Bawah Darurat Militer

| September 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-24T04:20:55Z

Terduga Anggota GAM tertangkap TNI. Foto: AP

 

"Kalau lari, kamu ditembak. Kalau tidak lari, kamu dipukuli"



Ucapan itu datang dari seorang pengungsi Aceh di Malaysia pada akhir 2003. Kalimat pendek, namun padat dengan teror yang menyelimuti kehidupan di bawah darurat militer. Sejak Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan status itu pada Mei 2003, Aceh berubah menjadi wilayah yang sunyi dalam sorotan, tetapi riuh oleh derita rakyatnya.

Di balik operasi militer melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ada wajah lain dari perang: eksekusi di luar hukum, penghilangan paksa, pemukulan, penangkapan tanpa prosedur, hingga pembatasan drastis terhadap kebebasan sipil. Laporan Human Rights Watch (HRW) tahun itu mencoba menguak tirai yang rapat, meski hanya dari luar wilayah konflik.

Kisah paling memilukan datang dari seorang pria muda bernama Jamal. Seorang saksi mata menggambarkan bagaimana Jamal, yang baru berusia dua puluhan, ditangkap oleh sekelompok tentara. Kakinya diborgol, lalu tubuhnya diayunkan berkali-kali ke batang pohon hingga kepala pecah. Otaknya berhamburan, dan setelah meninggal, tubuhnya tetap diberondong peluru di jalan.

Peristiwa itu bukan satu-satunya. Kesaksian yang dikumpulkan HRW menunjukkan pola berulang: warga sipil ditembak ketika berusaha kabur, dipukuli saat tertangkap, atau hilang begitu saja setelah ditahan. Pemuda Aceh menjadi sasaran utama, dianggap sebagai simpatisan GAM hanya karena usia mereka.

“Semua orang punya cerita. Jika bukan korban, mereka saksi mata,” tulis HRW dalam laporannya. Kalimat itu menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia terjadi begitu masif, hingga hampir tak ada satu pun warga yang terbebas dari bayangannya.

Tabir Sunyi di Tanah Rencong


Selain operasi bersenjata, pemerintah Indonesia menjalankan strategi senyap: menutup rapat akses informasi dari Aceh. Lembaga kemanusiaan internasional, organisasi hak asasi manusia, hingga jurnalis asing dilarang masuk ke wilayah konflik.

Bahkan media dalam negeri dibatasi. LSM lokal yang berusaha mendokumentasikan situasi diintimidasi, ditahan, atau dicap simpatisan GAM. Stigma itu begitu berbahaya, sebab tuduhan “separatis” bisa berujung vonis mati.

Kondisi ini menjadikan Aceh sebagai “zona gelap informasi”. Apa yang benar-benar terjadi di desa-desa hanya bisa terdengar melalui celah kecil, lewat para pengungsi yang berhasil menyeberang ke luar negeri.

Malaysia menjadi salah satu tujuan. Ribuan warga Aceh nekat menempuh perjalanan berbahaya dan mahal demi mencari selamat. Di negeri jiran itulah HRW melakukan lebih dari 85 wawancara pada Oktober–November 2003.

Sebagian besar narasumber adalah laki-laki berusia 18–35 tahun—kelompok yang dianggap paling rawan dicurigai terlibat dalam aktivitas GAM. Namun, di balik data itu terselip kepedihan: keluarga yang tercerai-berai, rumah yang ditinggalkan, dan hidup dalam ketidakpastian di tanah asing.

Operasi militer bukan hanya melahirkan kekerasan, tetapi juga krisis kemanusiaan. Ribuan orang terpaksa mengungsi, meninggalkan tanah kelahiran untuk mencari tempat aman dan sekadar mendapatkan makanan.

Mereka yang memilih bertahan menghadapi kelangkaan air bersih, pangan, dan layanan dasar. Sekolah terhenti, puskesmas lumpuh, pasar tidak lagi berfungsi. Hidup berubah drastis: dari rutinitas sederhana menjadi perjuangan untuk bertahan hari demi hari.

Ironisnya, ketika situasi semakin memburuk, organisasi kemanusiaan internasional justru dilarang masuk. Bahkan LSM lokal yang ingin membantu pun kerap dihambat. Akibatnya, penderitaan warga Aceh berlangsung dalam senyap, nyaris tanpa saksi mata.

Di lapangan, tekanan terhadap aparat semakin besar. Pejabat tinggi militer kala itu menegaskan tekad untuk “menghancurkan” GAM dalam waktu tertentu. Tekanan itu, menurut HRW, menjadi bahan bakar bagi praktik kekerasan terhadap warga sipil.

Ucapan Brigjen Polisi Guliansyah, Kepala Komando Operasi Penegakan Hukum Polda Aceh, menggambarkan situasi kala itu. Pada 3 Desember 2003 ia menyatakan: “Kalau perlu, tembak di tempat siapa pun yang mengibarkan bendera GAM ini. Siapa pun yang mengibarkan bendera itu harus anggota GAM.”

Pernyataan semacam ini menambah keyakinan di kalangan aparat bahwa semua orang Aceh adalah separatis. Stigma itu diterjemahkan menjadi kekerasan membabi buta, tanpa membedakan kombatan dan warga sipil.

Meski mengungkap banyak kesaksian, HRW menegaskan bahwa laporan mereka mungkin hanya menggambarkan “puncak gunung es”. Tanpa akses bebas ke Aceh, sulit mengetahui skala sebenarnya dari pelanggaran.

Pelanggaran oleh GAM juga diakui HRW sebagai bagian dari konflik, namun minim data karena akses lapangan ditutup. Catatan lama menunjukkan adanya penculikan dan intimidasi terhadap warga sipil, terutama etnis Jawa. Namun, para pengungsi yang diwawancarai di Malaysia tidak melaporkan kasus semacam itu.

“Kurangnya kesaksian tidak berarti pelanggaran tidak ada,” tulis HRW. Laporan itu menegaskan pentingnya membuka Aceh bagi pengamat independen agar semua pihak, baik militer maupun GAM, dapat dipantau secara adil.

Dalam rekomendasinya, HRW meminta Indonesia mengambil langkah nyata untuk menghentikan pelanggaran. Aparat harus bertindak profesional, menghormati hukum humaniter, serta mengadili mereka yang terbukti melakukan pelanggaran.

Kepada komunitas internasional, terutama Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Bank Dunia—yang kala itu terlibat dalam proses perdamaian—HRW mendesak agar memberi tekanan diplomatik. “Akses ke Aceh harus menjadi prioritas utama. Hanya dengan begitu, pelanggar bisa dicegah dan bantuan kemanusiaan benar-benar sampai kepada rakyat,” tegas laporan itu.

Dua dekade telah berlalu. Konflik Aceh resmi berakhir lewat perjanjian damai Helsinki pada 2005. Senjata diturunkan, status darurat militer dicabut, dan Aceh perlahan bangkit membangun dirinya.

Namun, bagi banyak korban, luka itu tidak hilang begitu saja. Ingatan tentang operasi militer, penyisiran, dan malam-malam penuh teror masih membekas. Mereka yang kehilangan keluarga, rumah, dan masa depan, masih membawa beban itu hingga kini.

Kisah-kisah kelam dari 2003 menjadi pengingat: perang tidak hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang manusia-manusia kecil yang terhimpit di tengahnya.

Bagi sebagian orang Aceh, masa itu adalah bab gelap yang menandai betapa sulitnya menjadi warga sipil dalam pusaran konflik. Mereka tahu betul, hidup di bawah darurat militer sama artinya dengan hidup dalam bahaya: ditembak jika lari, dipukuli jika tinggal.[]

SUMBER 

×
Berita Terbaru Update