Beberapa bulan terakhir, istilah “uang kering” kerap muncul dalam percakapan masyarakat. Istilah ini mencerminkan kondisi ketika uang terasa sulit beredar, konsumsi melemah, dan daya beli menurun. Fenomena ini bukan hanya dirasakan oleh sektor swasta atau pelaku usaha, tetapi juga merembet ke dunia pendidikan tinggi, termasuk dosen yang mengandalkan gaji dan tunjangan kinerja (Tukin) sebagai sumber utama penghidupan.
Tukin bagi dosen sejatinya dirancang untuk mendorong profesionalisme, meningkatkan motivasi, dan menjamin kesejahteraan akademisi agar mereka fokus menjalankan tridharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Namun, dalam praktiknya, beban birokrasi, keterlambatan pencairan, hingga ketidakpastian mekanisme penilaian sering membuat Tukin tidak sepenuhnya menjadi instrumen peningkatan kesejahteraan. Ketika ekonomi sedang lesu dan uang beredar terbatas, keterlambatan atau penyesuaian Tukin terasa semakin berat.
Fenomena uang kering memperburuk keadaan. Dosen, seperti masyarakat pada umumnya, menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, hingga cicilan perumahan. Jika Tukin tidak dikelola dengan baik atau justru terhambat, maka beban finansial mereka semakin menekan. Padahal, dosen bukan sekadar pekerja administratif; mereka adalah garda depan dalam mencetak generasi bangsa yang kritis dan inovatif. Menuntut kualitas tinggi dari dosen tanpa menjamin keberlangsungan kesejahteraan justru berpotensi menggerus komitmen mereka.
Di sinilah pentingnya memahami bahwa Tukin bukan hanya soal gaji tambahan. Pencairan Tukin yang tepat waktu dan proporsional justru mampu menjaga sirkulasi uang agar tidak “kering”. Setiap rupiah Tukin yang diterima dosen akan kembali berputar ke perekonomian lokal: membayar kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan, kesehatan, hingga aktivitas sosial. Dengan kata lain, Tukin dosen berfungsi ganda: menyejahterakan akademisi sekaligus menjaga likuiditas di masyarakat.
Pemerintah perlu menyadari bahwa stabilitas ekonomi dan dunia pendidikan berjalan seiring. Ketika ekonomi makro melemah, buffer kesejahteraan bagi profesi strategis seperti dosen harus diperkuat, bukan diperlambat. Tukin yang cair tepat waktu, transparan, dan adil, dapat menjadi bantalan sosial yang penting di tengah fenomena uang kering. Lebih jauh lagi, pengelolaan Tukin seharusnya tidak sekadar administratif, tetapi juga strategis, dengan menempatkan kesejahteraan dosen sebagai investasi jangka panjang bagi daya saing bangsa.
Pada akhirnya, menegaskan bahwa isu Tukin dosen bukan sekadar soal tambahan penghasilan, melainkan cermin komitmen negara dalam merawat dunia akademik. Di tengah ekonomi yang sedang ketat, memastikan dosen tetap dapat bernapas lega secara finansial berarti menjaga api pendidikan agar tidak padam. Sebab, bila dosen ikut terjebak dalam pusaran uang kering, dampaknya tidak hanya pada kesejahteraan pribadi, melainkan juga pada kualitas generasi penerus yang sedang mereka didik.
Pertama, perlu dipahami bahwa dosen adalah kelompok masyarakat dengan daya konsumsi yang relatif stabil. Tidak seperti sektor usaha yang bisa menahan belanja ketika kondisi tidak menentu, dosen tetap harus memenuhi kebutuhan rutin keluarga dan aktivitas akademiknya. Dengan demikian, pencairan Tukin yang konsisten akan langsung terserap ke pasar, membantu menjaga permintaan agregat agar tidak anjlok di masa-masa sulit.
Kedua, Tukin dosen juga memiliki efek ganda (multiplier effect) di sektor lokal. Dosen yang menerima Tukin akan membelanjakan sebagian penghasilannya di sekitar kampus, mulai dari warung, jasa transportasi, hingga kebutuhan pendidikan. Peredaran uang ini menciptakan lapangan kerja kecil, menjaga kelangsungan usaha mikro, dan mengurangi tekanan ekonomi di masyarakat sekitar. Dengan cara ini, Tukin tidak hanya bermanfaat bagi dosen, tetapi juga bagi ekosistem ekonomi lokal.
Ketiga, kehadiran Tukin yang stabil memberi rasa aman psikologis bagi dosen. Dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, kepastian pendapatan membuat mereka lebih berani merencanakan masa depan, seperti melanjutkan studi, menulis penelitian, atau mengikuti konferensi. Aktivitas ini pada gilirannya meningkatkan kualitas akademik sekaligus menambah perputaran uang, baik di sektor jasa pendidikan maupun transportasi.
Keempat, Tukin dosen yang sehat juga menjadi sinyal positif bagi generasi muda yang sedang menempuh pendidikan tinggi. Ketika mahasiswa melihat bahwa profesi dosen dihargai dan dijamin kesejahteraannya, mereka terdorong untuk menempuh jalur akademik dengan lebih serius. Hal ini penting bagi regenerasi tenaga pendidik dan keberlanjutan mutu pendidikan nasional. Dengan kata lain, Tukin bukan hanya soal ekonomi hari ini, tetapi juga investasi bagi masa depan bangsa.
Kelima, dalam perspektif kebijakan publik, Tukin dosen dapat diposisikan sebagai salah satu instrumen countercyclical, kebijakan yang justru mengalirkan dana ke masyarakat ketika ekonomi melemah. Sama seperti subsidi atau program bantuan sosial, Tukin menjaga agar uang tetap beredar dan tidak terkonsentrasi di level atas saja. Jika dikelola dengan bijak, Tukin dosen bisa menjadi perisai sosial yang efektif, mencegah “uang kering” yang berlarut-larut, sekaligus memastikan pendidikan tetap berjalan dengan kualitas yang terjaga.
Lebih jauh lagi, Tukin dosen yang stabil dan tepat sasaran mampu menjadi salah satu solusi nyata untuk mencegah “uang kering”. Setiap pencairan Tukin adalah aliran darah segar yang membantu roda ekonomi berputar, menjaga daya beli, dan menghidupkan sektor riil. Dengan demikian, mendukung kesejahteraan dosen berarti sekaligus menjaga agar denyut ekonomi bangsa tidak tersendat. Editorial ini ingin menegaskan, di saat ekonomi nasional tengah diuji, Tukin dosen bukan sekadar tambahan, melainkan salah satu kunci agar uang terus mengalir dan bangsa tetap tegak berdiri.[]
Oleh Asrianda, Dosen Universitas Malikussaleh