Banda Aceh — Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, memimpin rapat evaluasi harian penanganan bencana hidrometeorologi Aceh Tahun 2025 di Pos Komando Tanggap Darurat, Senin (1/12/2025). Dalam rapat tersebut, Sekda menegaskan bahwa pembukaan jalur laut dan udara menjadi kunci percepatan distribusi logistik dan evakuasi warga di tengah terputusnya banyak akses darat.
Dalam paparannya, Sekda menyebutkan bahwa bencana telah melanda 18 kabupaten/kota, mencakup 226 kecamatan dan 3.310 desa, dengan total korban terdampak mencapai 214.382 kepala keluarga atau 1.418.872 jiwa. Hingga kini, tercatat 1.435 korban luka ringan, 403 luka berat, 173 meninggal dunia, serta 204 masih hilang. Jumlah pengungsi juga bertambah, tersebar di 828 titik dengan total 97.305 kepala keluarga atau 443.001 jiwa.
Kerusakan infrastruktur terdata cukup masif, meliputi 138 fasilitas kantor, lebih dari 200 sekolah, sejumlah pesantren, 302 titik jalan rusak atau amblas, serta 142 jembatan terdampak. Selain itu, terdapat 77.049 rumah terdampak, 182 ternak hilang, serta lahan sawah dan kebun yang rusak seluas lebih dari 205 ribu hektare.
Jalur Laut dan Udara Jadi Prioritas
Sekda menegaskan jalur laut merupakan opsi paling memungkinkan untuk distribusi bantuan ke wilayah yang terisolasi seperti Aceh Tamiang, Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Lhokseumawe. Ia meminta seluruh instansi terkait memastikan pergerakan kapal berlangsung aman dan terkoordinasi.
Untuk wilayah dataran tinggi seperti Bener Meriah, Takengon, Gayo Lues hingga Aceh Tenggara, pengiriman bantuan sementara hanya memungkinkan melalui jalur udara.
Basarnas dalam laporannya menyebutkan korban meninggal yang berhasil dievakuasi mencapai 138 orang, sementara 12 lainnya masih dalam pencarian. Beberapa daerah dinyatakan selesai tahap evakuasi, seperti Pidie, Lhokseumawe, Langsa, Nagan Raya, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Namun, akses menuju Aceh Tamiang, Bener Meriah dan Aceh Tengah masih terhambat karena kerusakan jalan dan keterbatasan BBM.
Prioritas Distribusi Logistik dan Tantangan Infrastruktur
BPBA menetapkan tiga prioritas distribusi logistik:
1. Aceh Tamiang,
2. Dataran tinggi Gayo hingga Aceh Tenggara,
3. Pantai barat dan utara.
Pemanfaatan jalur laut terus dimaksimalkan, termasuk penggunaan kapal nelayan dan boat kecil untuk membawa bantuan ke wilayah pantai utara.
Sementara itu, Dinas PUPR melaporkan masih terdapat lebih dari 80 titik longsor pada jalur vital seperti Gunung Salak–Takengon, serta sejumlah ruas lainnya yang terputus total. Enam unit jembatan semi rangka baja telah disiapkan, namun pemasangannya memerlukan waktu lebih dari 20 hari.
Sekda meminta PUPR memprioritaskan pemasangan jembatan semi rangka baja di Juli, Bireuen, dan Bener Meriah–Takengon, sembari menembus jalur dari Simpang KKA menuju Takengon.
Aktivasi Jalur Laut dan Pengalihan Rute Kapal
Kepala Dinas Perhubungan Aceh, T. Faisal, melaporkan perkembangan terbaru pergerakan transportasi laut. KMP Ekspres Bahari dilaporkan telah tiba di Kuala Idi, dengan proses bongkar muat yang dibantu kapal nelayan akibat kondisi dermaga dangkal, sebelum melanjutkan perjalanan ke Langsa. Antusiasme relawan dan warga untuk menuju lokasi terdampak meningkat tajam.
Jika mendapat izin berlayar kembali, KMP Ekspres Bahari dijadwalkan beroperasi Kamis dari Banda Aceh. Selain itu, KM Antarest milik Navigator Sabang dijadwalkan berlayar malam ini menuju Aceh Utara untuk mengangkut bantuan yang dihimpun mahasiswa dan relawan di Banda Aceh.
Langkah strategis lain adalah usulan pengalihan rute kapal perintis ke jalur timur hingga Belawan, sehingga pasokan logistik dari Medan dapat ditarik menuju Krueng Geukueh dan Banda Aceh. Kementerian Perhubungan telah menyetujui jalur baru ini, dan kapal diperkirakan mulai bergerak pada 5 Desember.
Dishub juga meminta BNPB membuka posko informasi di Pelabuhan Ulee Lheue untuk memandu relawan dan masyarakat. BNPB merespons positif dan berkomitmen meningkatkan koordinasi demi kelancaran operasi transportasi bantuan.
Dukungan Internasional
Dalam rapat tersebut, perwakilan JICA Jepang menyatakan kesiapan membantu tahap pemulihan pascabencana Aceh. Tawaran bantuan teknis terutama ditujukan pada proses rekonstruksi infrastruktur yang mengalami kerusakan parah. Sekda menyambut baik dukungan tersebut mengingat skala kerusakan yang sangat luas[]
