![]() |
Ilustrasi Mangrove Langsa |
Oleh: Asrianda (Dosen Universitas Malikussaleh)
KOTA Langsa, yang terletak di pesisir timur Provinsi Aceh, patut berbangga memiliki kawasan mangrove seluas lebih dari 5.000 hektar, dengan Hutan Mangrove Kuala Langsa sebagai ikon utama. Tak hanya menjadi kawasan konservasi dan penelitian, hutan juga menyandang predikat Ekowisata Populer dalam ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) Awards 2019. Sayangnya, potensi besar ini belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas, terutama karena mahalnya harga tiket masuk yang menjadi kendala utama minat kunjungan.
Di tengah tekanan ekonomi masyarakat, kebijakan tarif wisata yang tinggi justru kontraproduktif. Banyak pelancong, baik lokal maupun luar daerah, mengurungkan niat berkunjung akibat harga tiket yang dianggap tidak sebanding dengan fasilitas yang tersedia. Padahal, wisata alam seperti hutan mangrove justru dapat menjadi ruang edukasi, konservasi, serta pemulihan ekonomi lokal apabila dikelola dengan pendekatan inklusif dan adaptif terhadap kondisi masyarakat.
Sudah saatnya pengelola dan pemerintah kota mempertimbangkan penyesuaian harga tiket masuk agar lebih terjangkau. Pengurangan harga bukan berarti mengorbankan pendapatan daerah, melainkan sebuah strategi jangka panjang untuk meningkatkan jumlah kunjungan. Semakin banyak pengunjung, semakin tinggi potensi perputaran ekonomi yang dapat digerakkan di dalam kawasan wisata tersebut.
Sebagai alternatif pendanaan, pengelola dapat membuka kios atau warung yang menjajakan makanan dan minuman khas Kota Langsa di dalam kawasan wisata. Usaha mikro tidak hanya memperpanjang waktu tinggal wisatawan, tetapi menjadi sumber ekonomi baru bagi warga lokal. Tentu saja, seluruh aktivitas ekonomi di kawasan hutan mangrove harus tetap mengedepankan prinsip kebersihan dan keberlanjutan lingkungan.
Keberadaan Hutan Mangrove Kuala Langsa tidak hanya penting dari sisi ekonomi dan ekowisata. Dapat menjadi rumah bagi berbagai spesies burung, monyet, reptil, ikan, kepiting, dan moluska yang keberadaannya terancam oleh tekanan deforestasi dan alih fungsi lahan. Pelibatan masyarakat lokal dalam program pelestarian, seperti dilakukan dalam penanaman 1.000 pohon bersama pelajar, perlu diperluas. Edukasi berkelanjutan akan menciptakan kesadaran bahwa hutan ini bukan hanya milik pemerintah atau pengelola, melainkan tanggung jawab bersama.
Jika kita ingin menyelamatkan mangrove sekaligus mendongkrak ekonomi lokal, kuncinya adalah keterjangkauan dan partisipasi. Dengan harga tiket yang ramah dan fasilitas yang menarik serta bersih, Hutan Mangrove Kuala Langsa bukan hanya akan ramai pengunjung, tetapi juga menjadi contoh sukses bagaimana ekowisata dapat bersinergi dengan pelestarian dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam praktiknya, kebijakan penyesuaian harga tiket perlu disertai evaluasi berkala terhadap kualitas layanan dan pengelolaan. Pengunjung yang membayar meski dengan harga terjangkau tetap berhak mendapatkan fasilitas dasar seperti jalur pejalan kaki yang aman, informasi edukatif mengenai ekosistem mangrove, serta kebersihan yang terjaga. Investasi pada infrastruktur sederhana namun fungsional dapat meningkatkan kenyamanan dan kepuasan wisatawan, yang pada gilirannya berdampak pada promosi dari mulut ke mulut yang lebih luas.
Selain itu, diversifikasi aktivitas wisata juga dapat menjadi daya tarik tambahan. Misalnya, pengelola dapat menyediakan paket tur edukatif bersama pemandu lokal yang terlatih, atau mengembangkan program "adopsi pohon mangrove" bagi pengunjung yang ingin turut serta dalam pelestarian. Tidak hanya memperkaya pengalaman wisata, tetapi juga memperkuat kesadaran ekologis yang menjadi nilai inti dari ekowisata.
Upaya pelibatan komunitas lokal juga menjadi faktor krusial. Para nelayan, pelaku UMKM, serta pemuda setempat dapat diberdayakan sebagai bagian dari sistem pengelolaan kawasan. Dengan keterlibatan langsung, rasa kepemilikan terhadap hutan mangrove akan tumbuh dan mendorong masyarakat untuk turut menjaga kawasan tersebut dari perusakan atau eksploitasi ilegal, seperti penebangan liar dan pembuatan tambak tak berizin.
Patut dicermati bahwa keberadaan hutan mangrove Langsa bukan berdiri sendiri dalam konteks lingkungan Aceh secara keseluruhan. Dengan menyusutnya kawasan mangrove di berbagai daerah lain akibat alih fungsi lahan, Langsa memiliki peluang strategis untuk menjadi pelopor perlindungan ekosistem pesisir. Keberhasilan ini tentu akan bergema lebih luas dan memberi contoh baik bagi kota-kota pesisir lainnya di Indonesia.
Langkah nyata menuju ekowisata yang adil dan berkelanjutan juga harus diiringi dengan peningkatan kapasitas kelembagaan. Pemerintah daerah dapat menggandeng lembaga konservasi, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil untuk membentuk forum kolaboratif dalam menyusun perencanaan, pengawasan, dan inovasi pengelolaan hutan mangrove. Kolaborasi lintas sektor ini akan memperkuat tata kelola yang transparan, partisipatif, dan adaptif terhadap tantangan perubahan zaman.
Pada akhirnya, komitmen untuk memurahkan akses bukan hanya soal menurunkan angka di tiket masuk, tetapi juga mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat dan alam. Jika dikelola dengan bijak, Hutan Mangrove Kuala Langsa akan menjadi contoh bahwa keberhasilan ekonomi tidak harus mengorbankan kelestarian lingkungan. Justru sebaliknya, alam yang dijaga dengan sepenuh hati akan menjadi sumber penghidupan dan kebanggaan sepanjang masa.[]
Penulis: Asrianda (Dosen Universitas Malikussaleh)