Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian konstitusionalitas Pasal 115 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada Senin (30/6/2025). Sidang yang digelar di Ruang Sidang MK tersebut mengagendakan mendengarkan keterangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah) sebagai pihak termohon.
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh lima orang keuchik (kepala desa) dari Aceh. Mereka mempersoalkan ketentuan masa jabatan keuchik yang dibatasi selama enam tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh. Para pemohon membandingkan ketentuan ini dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang telah diubah melalui UU Nomor 3 Tahun 2024. UU Desa mengatur masa jabatan kepala desa selama delapan tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan.
DPR Tegaskan Prinsip Lex Specialis
Menanggapi permohonan tersebut, Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta menegaskan bahwa perbedaan masa jabatan antara kepala desa dan keuchik tidak menyalahi konstitusi. Menurutnya, UU Pemerintahan Aceh merupakan lex specialis yang berlaku secara khusus di Aceh, sehingga tidak tunduk pada ketentuan umum dalam UU Desa yang berlaku secara nasional.
“Dalam Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 118 UU Nomor 3 Tahun 2024 tidak disebutkan bahwa ketentuan tersebut berlaku bagi keuchik di Aceh. DPR juga telah mempertimbangkan kekhususan Aceh dalam pembentukan UU tersebut, sebagaimana tertuang dalam Pasal 107, 109, dan penjelasan umum UU Desa,” papar Wayan.
Pemerintah: Wujud Penghormatan terhadap Kekhususan Aceh
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, yang mewakili Pemerintah, menyampaikan bahwa keberadaan UU Pemerintahan Aceh merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap kekhususan dan keistimewaan Aceh.
“Perbedaan masa jabatan ini adalah bagian dari pelaksanaan asas Bhinneka Tunggal Ika dan jaminan terhadap hak-hak masyarakat Aceh dalam konteks sosial dan politik. Karena itu, ketentuan Pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Aceh,” jelas Akmal.
Ia juga menegaskan bahwa perbedaan perlakuan terhadap daerah tertentu, selama berdasarkan hukum dan konstitusi, bukanlah bentuk diskriminasi. “Perbedaan tersebut adalah wujud dari penghormatan terhadap kekhususan daerah yang secara eksplisit diakui dalam sistem ketatanegaraan kita,” katanya.
DPR Aceh dan Pemerintah Aceh Satu Suara
Wakil Ketua DPR Aceh, Ali Basrah, turut memberikan keterangan dalam sidang tersebut. Ia menegaskan bahwa Aceh merupakan provinsi dengan status hukum istimewa yang secara jelas diakui dalam konstitusi.
“Dengan prinsip lex specialis derogat legi generali, maka ketentuan dalam UU Desa tidak bisa diberlakukan untuk Aceh, selama belum ada putusan yang menyatakan sebaliknya. Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh tetap sah dan berlaku,” tegas Ali Basrah.
Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh, Muhammad Junaidi. Ia menjelaskan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2006 telah mengatur secara rinci tata cara perubahan terhadap undang-undang khusus tersebut, untuk memastikan penghormatan terhadap status otonomi khusus Aceh tetap terjaga.
“Pemerintah Aceh bahkan telah mengusulkan perubahan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2006 kepada DPR RI. Namun hingga kini, ketentuan yang ada masih berlaku dan mengikat,” kata Junaidi.
Ia juga menyatakan bahwa Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya, pengaturan tentang pemerintahan gampong dalam undang-undang tersebut merupakan amanat langsung dari Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya.
“Karena itu, kami menolak permohonan uji materiil yang diajukan. Hak untuk membuat dan mengubah undang-undang sepenuhnya merupakan kewenangan DPR dan Presiden,” pungkasnya.
Menanti Putusan MK
Sidang tersebut menjadi babak penting dalam mempertimbangkan batasan masa jabatan keuchik di Aceh dan relasinya dengan ketentuan nasional. MK dijadwalkan akan melanjutkan proses persidangan dengan mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari para pihak sebelum memutuskan konstitusionalitas ketentuan yang dipersoalkan.
Apapun hasilnya, perkara ini menjadi catatan penting mengenai dinamika antara hukum nasional dan kekhususan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.[]