Oleh: Asrianda (Dosen Universitas Malikussaleh)
DUNIA pendidikan tinggi Indonesia kembali tercoreng oleh serangkaian peristiwa yang menunjukkan runtuhnya integritas di kalangan civitas akademika. Sejumlah kasus yang melibatkan para dosen dan pejabat kampus, mulai dari dugaan plagiat, penyalahgunaan jabatan, hingga praktik manipulasi publikasi ilmiah menjadi bukti bahwa korupsi moral tak hanya terjadi di ruang politik dan birokrasi, tetapi juga di menara gading pendidikan.
Salah satu kasus yang mencuat adalah dugaan penggunaan jurnal predator untuk mempublikasikan karya ilmiah sebagai syarat pengangkatan jabatan akademik. Praktik ini, dilakukan dengan membayar sejumlah uang kepada penerbit jurnal yang tidak memiliki standar ilmiah sahih, mencerminkan bahwa status akademik kini lebih diprioritaskan daripada proses keilmuan yang jujur dan kredibel. Fenomena ini jelas mencederai etika akademik dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi.
Di saat yang sama, beberapa pejabat kampus juga terlibat dalam kasus hukum yang berkaitan dengan suap dan gratifikasi dalam proses penerimaan mahasiswa. Vonis yang dijatuhkan terhadap mereka mengungkap betapa dalamnya praktik transaksional telah menyusupi dunia akademik. Tidak hanya mencederai nilai keadilan dalam akses pendidikan, tetapi juga memperkuat ketimpangan dan memperlemah fondasi meritokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi pendidikan.
Lebih jauh, investigasi terhadap dugaan plagiat oleh sejumlah dosen yang mengajukan kenaikan jabatan akademik semakin memperkuat sinyal keroposnya integritas di lingkungan kampus. Penelusuran internal yang dilakukan oleh otoritas pendidikan menunjukkan bahwa sejumlah publikasi ilmiah yang diajukan sebagai syarat administratif tidak orisinal, bahkan diduga dijokikan atau dimanipulasi. Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat ilmiah dan penghinaan terhadap dunia akademik itu sendiri.
Masalah yang muncul bukan semata akibat individu yang tidak beretika, tetapi juga karena adanya sistem yang lemah. Berdasarkan laporan dari media nasional, banyak kampus di Indonesia belum memiliki ekosistem penelitian yang memadai. Dosen dituntut untuk terus produktif secara ilmiah, namun sering kali tidak diberi dukungan infrastruktur dan dana riset yang layak. Dalam kondisi seperti ini, penggunaan jalan pintas melalui publikasi di jurnal predator menjadi godaan yang nyata.
Kondisi ini mencerminkan kegagalan struktural dalam tata kelola pendidikan tinggi. Ketika capaian administratif lebih dihargai dibandingkan proses ilmiah yang jujur dan berintegritas, maka terciptalah kultur akademik yang semu. Reformasi tidak cukup dilakukan pada permukaan; perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem penilaian, regulasi kenaikan jabatan, serta pembentukan badan etik yang benar-benar independen dan berfungsi efektif.
Lebih dari itu, budaya akademik yang sehat hanya bisa tumbuh bila semua pihak dosen, mahasiswa, dan pengelola pendidikan, berkomitmen pada nilai-nilai keilmuan. Masyarakat luas juga berperan penting dalam mengawasi jalannya proses pendidikan agar tidak hanya menghasilkan lulusan yang cerdas secara intelektual, tetapi juga bermoral tinggi.
Skandal yang terjadi belakangan ini adalah peringatan keras bahwa dunia akademik tidak imun dari penyakit moral yang menggerogoti banyak institusi di negeri ini. Namun, krisis juga bisa menjadi peluang untuk melakukan pembenahan serius. Sudah saatnya dunia pendidikan kembali menempatkan integritas sebagai pilar utama, bukan sekadar formalitas yang bisa dibeli atau dimanipulasi.
Dengan langkah konkret, transparansi, dan keberanian untuk berubah, institusi pendidikan tinggi masih dapat mengembalikan martabatnya sebagai penjaga nurani bangsa dan sumber pengetahuan yang mencerahkan.[]
Penulis: Asrianda, Dosen Universitas Malikussaleh