Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Obrolan di Warung Kopi: Empat Pulau Singkil “Merantau” ke Sumut?

Sabtu, 14 Juni 2025 | Juni 14, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-13T17:29:39Z

Oleh Asrianda, Dosen Universitas Malikussaleh


Di sebuah warung kopi sederhana di sudut Kota Lhokseumawe, suara gelas bergesekan dengan piring kecil lebih riuh dari biasanya. Isinya bukan debat soal Liga Champion, bukan juga soal cuaca, tapi tentang empat pulau Aceh yang katanya sekarang “ber-KTP” Sumut. “Hah? Pulau bisa pindah domisili?” celetuk seorang bapak dengan kopiah miring. Gelak tawa meledak, tapi wajah tetap serius.

“Dulu katanya itu pulau-pulau tempat nelayan kita berteduh kalau badai, sekarang katanya milik orang Sumut?” sahut yang lain sambil menyeruput kopi sanger. Obrolan makin memanas ketika ada yang menyebut nama Jusuf Kalla dan Laksda Purn. Ponto. “JK aja bilang itu harusnya ikut UU, bukan SK Mendagri. Kalau kayak gini, bisa-bisa nanti Sabang ikut Andaman pula,” canda mereka, separuh lucu separuh resah.

“Masalahnya bukan soal tanah doang, bro,” ucap seorang mahasiswa yang baru masuk warung, “Ini soal harga diri, soal sejarah! Masa Aceh yang udah ada sejak zaman Belanda, bisa kalah sama garis GPS?” Semua pun mengangguk. Bahkan si abang kopi ikut menimpali, “Kalau cuma karena garis di peta digital, lama-lama rumah kita pun bisa masuk Google Maps-nya Malaysia.”

Lucunya, ada juga yang nyeletuk sambil senyum geli, “Jangan-jangan pulau itu pindah karena Sumut kasih sinyal WiFi lebih kencang?” Disambut tawa lagi. Tapi dari semua canda, terselip satu nada serius: “Jangan biarkan sejarah dihapus dengan klik mouse. Kalau itu memang pulau Aceh, ya harusnya pulang ke Aceh.”

Akhirnya, semua sepakat — sambil nyeruput kopi terakhir — bahwa persoalan ini bukan sekadar administrasi, tapi soal marwah. Dan marwah, kata mereka, bukan sesuatu yang bisa digeser pakai SK. Maka, di warung kopi itu, rakyat kecil menyuarakan hal besar: “Pulau boleh kecil, tapi sejarahnya besar. Jangan dipindah seenaknya.”

Lalu muncullah si Pak Wong, mantan kepala dusun yang kini lebih sering main catur di pojokan warung. “Dulu, waktu kita bangun dermaga di Pulau Panjang itu pakai dana APBA, bukan APBD Sumut. Petugas kesehatan pun dari Aceh, bukan dari Sibolga. Jadi lucu aja kalau tiba-tiba dibilang pulau itu milik orang lain,” katanya dengan nada pelan, tapi mengandung getaran sejarah yang dalam. Yang lain manggut-manggut, sambil mengingat bagaimana dulu nelayan dari Aceh Singkil singgah di pulau-pulau itu tiap musim badai.

Seorang anak muda lain, mahasiswa geografi, ikut menyela. “Peta kolonial tahun 1853 aja jelas-jelas nunjukin itu bagian Distrik Singkil. Masa peta zaman Belanda bisa lebih teliti dari kementerian sekarang?” katanya sambil menunjukkan foto peta dari HP-nya. Yang lain berseru, “Nah! Itu baru bukti, bukan asumsi!” Mereka pun tertawa sambil sesekali melirik si abang warung yang ikut angguk-angguk tanpa paham peta, tapi paham marwah.

Diskusi kemudian bergeser ke pertanyaan yang lebih filosofis. “Kalau negara ini terus pakai ukuran administratif digital, bagaimana dengan desa-desa terpencil yang nggak pernah di-scan GPS?” tanya Pak Teuku yang biasanya diam, tapi hari ini ikut panas. “Jangan-jangan nanti rumah kita juga diklaim provinsi tetangga cuma karena titik koordinatnya miring dikit,” ucapnya, dan semua pun terdiam sejenak. Diam bukan karena takut, tapi karena sadar: di negeri ini, garis batas bisa berubah, tapi harga diri tidak boleh goyah.

Akhirnya, obrolan ditutup dengan satu kalimat dari pemuda berjaket lusuh yang sedari tadi mendengar saja. “Kalau Aceh harus ke PTUN buat pulau yang sudah dari dulu miliknya, itu kayak anak sulung harus ngurus akta lahir buat meyakinkan orang tua kalau dia memang anak kandung.” Semua pun tertawa lepas, pahit tapi jujur. Di warung kopi itulah suara rakyat kecil hidup, menjaga sejarah dengan canda, merawat marwah dengan kopi.[]
×
Berita Terbaru Update