Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Skizofrenia Bukan 'Gila': Pentingnya Literasi Mental di Era Media Sosial

Jumat, 13 Juni 2025 | Juni 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-13T04:35:13Z

Mishkatul Ameerah, mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

 

Lhokseumawe – Fenomena penggunaan istilah psikologis secara sembarangan di media sosial semakin marak terjadi. Salah satu yang sering disalahartikan adalah istilah skizofrenia, yang kerap digunakan untuk menyebut orang yang berperilaku aneh atau menunjukkan emosi ekstrem. Padahal, skizofrenia merupakan gangguan mental serius yang membutuhkan pemahaman dan penanganan khusus.

Hal ini disoroti oleh Mishkatul Ameerah, mahasiswa Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh. Menurutnya, penyalahgunaan istilah psikologis seperti skizofrenia di ruang digital berpotensi memperkuat stigma dan diskriminasi terhadap penyintas gangguan jiwa.

“Banyak masyarakat masih menganggap skizofrenia sebagai sinonim dari ‘gila’. Padahal, itu adalah gangguan kejiwaan kronis yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku,” ujar Ameerah, Jumat (13/6/2025).

Ia menjelaskan, skizofrenia ditandai oleh gejala seperti halusinasi, delusi, dan pikiran yang kacau. Penyebabnya bersifat multifaktor, mulai dari gangguan pada neurotransmitter otak, faktor genetik, stres lingkungan, hingga pengalaman traumatis di masa lalu.

“Penggunaan istilah ini secara sembrono di media sosial bukan hanya menyesatkan, tapi juga sangat menyakitkan bagi para penyintas dan keluarganya,” tambahnya. 

Stigma Sosial Lebih Menyakitkan daripada Gangguan Itu Sendiri

Ameerah menekankan bahwa salah satu tantangan terbesar bagi penyintas skizofrenia bukan hanya terletak pada gejala medisnya, tetapi pada stigma yang dilekatkan masyarakat. Banyak penyintas yang akhirnya dikucilkan, bahkan tidak mendapat akses pengobatan yang layak karena dianggap aib oleh keluarganya sendiri.

“Stigma membuat banyak orang enggan mencari bantuan. Bahkan, di beberapa daerah, praktik pemasungan masih terjadi karena masyarakat lebih memilih mengurung daripada mengobati,” kata Ameerah prihatin.

Ia merujuk pada data Kementerian Kesehatan RI yang mencatat bahwa 1 dari 5 penderita gangguan jiwa berat di Indonesia tidak mendapatkan penanganan medis yang memadai, salah satunya akibat stigma dari lingkungan sekitar.

Edukasi dan Empati adalah Kunci

Menurut Ameerah, perlu upaya bersama untuk meningkatkan literasi kesehatan mental di tengah masyarakat. Media massa, lembaga pendidikan, tenaga medis, serta tokoh masyarakat harus bekerja sama dalam menyampaikan informasi yang tepat tentang skizofrenia dan gangguan mental lainnya.

Ia juga mengajak generasi muda, khususnya pengguna media sosial, untuk lebih bijak dalam menggunakan istilah psikologis.

“Skizofrenia bukan bahan candaan. Ini kondisi medis yang bisa dikelola jika penyintas mendapatkan dukungan dari lingkungan dan akses pengobatan yang memadai,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ameerah berharap ada lebih banyak kampanye kesehatan mental yang menyasar masyarakat akar rumput, termasuk melalui platform digital, agar pemahaman yang benar dapat menyebar secara luas. 

Membangun Masyarakat yang Lebih Inklusif

Di akhir wawancara, Ameerah mengingatkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang bermartabat, termasuk para penyintas skizofrenia. Sudah saatnya masyarakat berhenti memberikan label negatif dan mulai membangun lingkungan yang lebih suportif dan inklusif. 

“Memahami skizofrenia bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal kemanusiaan. Ketika kita memahami, kita bisa lebih peduli,” pungkasnya.[]

×
Berita Terbaru Update