Oleh Asrianda, Dosen Universitas Malikussaleh
Kabar mengenai empat pulau di Aceh. Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang, yang kini “dipindah domisili” ke Sumatera Utara melalui SK Mendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025, seharusnya menjadi alarm serius bagi Pemerintah Aceh dan pusat. Bukan hanya soal batas administratif semata, melainkan soal penghormatan terhadap sejarah, hukum, dan marwah daerah. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah mengingatkan bahwa UU Nomor 24 Tahun 1956 tidak bisa dikalahkan oleh sekadar surat keputusan. Tapi mengapa kita seperti abai?
Sejarah bukan sekadar kisah masa lalu. Ia adalah pondasi identitas. Dan dalam kasus ini, sejarah telah berbicara lantang, lewat peta kolonial von Rosenberg tahun 1853, dokumen agraria 1965, hingga kesepakatan batas laut 1992. Jika semua itu belum cukup meyakinkan bahwa empat pulau tersebut milik Aceh, maka kita perlu mempertanyakan: apa sebenarnya yang jadi rujukan keputusan Mendagri? Apakah garis digital pada peta modern lebih berdaulat dibandingkan sejarah yang berurat akar?
Lebih ironis lagi, fakta-fakta di lapangan memperkuat klaim Aceh: tugu batas bertuliskan “Kabupaten Aceh Singkil,” dermaga dan layanan kesehatan yang dibiayai APBA, hingga pelayanan rutin dari Dinas Kesehatan Aceh. Jika ini bukan bukti kehadiran negara secara nyata, lalu apa? Apakah harus menunggu dibangun kantor gubernur di setiap pulau sebelum disebut “berada”?
Langkah Prof Mujiburrahman yang menyarankan Pemerintah Aceh untuk tidak menempuh jalur PTUN patut dicermati. Benar, jangan sampai Aceh justru terlihat seperti berebut milik sendiri. Tapi justru karena ini adalah hak historis dan legal, maka seharusnya pemerintah pusat yang lebih dulu merevisi SK tersebut. Ini bukan soal gengsi. Ini soal menjaga integritas wilayah dalam bingkai keadilan. Jangan sampai Aceh kembali merasa ditarik ke masa lampau yang penuh luka.
Pulau-pulau ini mungkin kecil di peta, tapi besar dalam harga diri orang Aceh. Jika negara ini ingin tetap utuh, maka keutuhan itu harus dimulai dari kejujuran membaca sejarah dan keberanian mengoreksi kesalahan administratif. Jangan biarkan pulau-pulau itu menjadi simbol bahwa ingatan bisa dihapus, dan bahwa kebenaran bisa digeser hanya karena garis koordinat.
Pemerintah pusat seharusnya tidak hanya melihat ini sebagai persoalan teknis pemetaan wilayah. Di balik keputusan administratif, tersimpan sensitivitas sosial dan kultural yang sangat dalam. Aceh adalah daerah dengan sejarah panjang perjuangan dan rekonsiliasi. Mengambil keputusan sepihak tanpa konsultasi atau klarifikasi yang matang justru membuka kembali ruang luka yang sedang disembuhkan dengan damai. Perhatian dan kehati-hatian bukan kelemahan birokrasi, melainkan bentuk penghormatan terhadap sejarah dan nilai-nilai keadilan.
Lebih dari itu, keputusan ini memperlihatkan kecenderungan baru yang mengkhawatirkan: penyusunan kebijakan berdasarkan peta digital tanpa verifikasi sejarah dan fakta lapangan. Jika preseden ini dibiarkan, bukan tidak mungkin wilayah-wilayah lain di Indonesia akan mengalami hal serupa. Ketika teknologi memotong jalur dialog, maka kita bukan lagi bernegara berdasarkan prinsip musyawarah, tetapi menjadi birokrasi yang dipandu algoritma tanpa konteks. Padahal, kebijakan publik sejatinya adalah hasil dari penalaran sejarah, budaya, hukum, dan empati sosial, bukan hanya koordinat dan garis batas.
Diperlukan langkah cepat dan konkret dari pemerintah pusat untuk meredam eskalasi masalah ini. Revisi terhadap SK Mendagri tersebut adalah tindakan paling masuk akal dan berkeadilan. Pemerintah Aceh pun perlu mengedepankan komunikasi diplomatik yang cerdas, bukan dengan konfrontasi, melainkan dengan argumentasi hukum dan sejarah yang kuat. Ketegasan tidak harus hadir dalam bentuk perlawanan hukum; bisa juga melalui penegasan identitas dan kekuatan dokumen yang tak terbantahkan.
Karena pada akhirnya, ini bukan semata soal kedaulatan daratan, tapi kedaulatan atas narasi. Jika narasi sejarah Aceh dipadamkan, maka kita telah gagal menjaga integritas daerah yang telah menjadi simbol nasional dalam perundingan damai, otonomi, dan persatuan. Aceh tidak meminta lebih, hanya minta agar sejarahnya tidak dihapus, dan bahwa keadilan tidak boleh ditentukan hanya oleh peta satelit.[]