-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Atap Roboh, Hujan Tumpah, Kisah Rumah Mutia di Ulee Reuleung

Oktober 30, 2025 Last Updated 2025-10-30T04:53:28Z

Kondisi rumah Mutia usai dilanda hujan deras pada Senin malam.

Selasa
pagi, 28 Oktober 2025, sekitar pukul 07.30 WIB. Seperti biasa, saya berangkat kerja dengan sepeda motor Vario tua yang setiap hari menemani perjalanan. Meski cuaca cukup cerah, jejak hujan malam sebelumnya masih tampak dari tanah basah dan genangan kecil di kiri–kanan jalan.

Di tengah perjalanan, saat melintasi jalan gampong Ulee Reuleung, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, pandangan saya terpaku pada sebuah rumah sederhana di sudut lapangan bola kaki. Rumah itu seolah berdiri dengan sisa tenaganya. Dinding papan sudah habis digerogoti rayap, berlubang di sana-sini. Bagian atap yang selama ini hanya ditutup terpal plastik tampak ambruk, menyerah setelah diterjang hujan deras semalam. Pemandangan itu menyesakkan dada lebih dari sekadar rumah rusak, ada kisah kepasrahan di baliknya.

Rumah itu milik Mutia Nilamsari, 44 tahun, seorang janda dengan tiga anak. Ketika saya menghampiri, Mutia tampak sedang menyapu halaman rumah, membersihkan sisa-sisa terpal dan kayu yang roboh. Meski tubuhnya lelah, tidak terlihat keluhan atau ratapan.

“Semalam plastik nyan jatuh semua, hana tahan ujeun brat that (Semalam terpal itu roboh, tidak kuat menahan hujan deras),” katanyan dengan nada lembut.

Di balik nada suaranya ada ketegaran, meski matanya menyimpan letih yang sulit disembunyikan. Ditanggalkan Kehidupan, Tetap Membesarkan Harapan

Mutia bercerai pada tahun 2020. Sejak itu ia menjadi satu-satunya tempat bergantung bagi anak-anaknya. Anak pertama kini kelas 3 MAS Ulee Reuleung. Anak bungsu masih duduk di kelas 3 MIN. Sementara anak kedua, yang kini berusia 16 tahun, hanya tamatan SD dan tidak melanjutkan sekolah setelah kembali ikut ayahnya.

Untuk menyambung hidup, Mutia bekerja sebagai buruh lepas di tempat pencetakan batu bata. Upahnya hanya ia dapat sekitar Rp 30 sampai Rp 60 ribu sehari, dan itu pun tidak menentu. Ada hari bekerja, ada pula hari ketika ia harus pulang tanpa penghasilan sama sekali.

Jika dilihat dari luar, rumah itu sekadar bangunan tua yang hampir rubuh. Tetapi di dalamnya ada cerita perjuangan seorang ibu menjaga keluarganya tetap bertahan.

“Kadang kalau tidak ada pekerjaan, tidak ada yang bisa kami makan,” katanya dengan senyum kecil.

Mutia mengaku pernah ada pihak yang mendata dan memotret rumahnya tahun lalu untuk program bantuan. Namun setelah itu tak ada kabar lagi. Tahun ini, ia kembali mengurus berkas ke Baitul Mal Aceh Utara melalui geuchik gampong. Ia menunggu, meski tak tahu sampai kapan.

Kamis, 30 Oktober 2025, saya kembali mendatangi rumah itu. Ada perubahan kecil namun berarti: di bagian atap sudah terlihat daun rumbia baru yang terpasang. Beberapa pemuda dan aparatur gampong patungan membeli kayu dan daun rumbia untuk menambal atap rumah itu agar tidak lagi kebocoran terlalu parah. Tidak sempurna, tetapi lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa kepedulian masih hidup di desa ini.

Namun baru sebagian kecil yang tertutup. Untuk menyelesaikan semuanya, termasuk membayar tukang dan menambah daun rumbia, Mutia masih membutuhkan dana sekitar Rp 600 ribu lagi. Nilai yang tidak besar bagi sebagian orang, namun bagi Mutia, jumlah itu seperti dinding tinggi yang sulit dilewati.

Saat itulah hati saya tergerak. Saya mencoba menghubungi seorang kerabat yang bekerja di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Tanpa panjang lebar, ia langsung menyatakan kesediaan membantu.

Neuyue peulheuh jue ubong nyan, padum peng neupeugah, biar lon sumbang bacut (Siapkan saja terus atapnya. Berapa biayanya nanti beritahu saya, akan saya bantu),” katanya.
Kondisi rumah Mutia setelah terpasang atap rumbia

Kisah Mutia bukan satu-satunya yang ada di pelosok Aceh Utara. Masih banyak keluarga yang bertahan dengan rumah seadanya, dengan pekerjaan yang tak menentu, dengan mimpi yang nyaris pupus. Namun kehadiran orang-orang baik, pemuda desa yang patungan, kerabat yang tergerak membantu membuktikan bahwa harapan tidak pernah benar-benar hilang.

Rumah Mutia mungkin belum kokoh. Dindingnya masih reyot, lantainya masih tanah dan sebagian sudah di semen, dan atapnya pun kini masih setengah jalan. Tetapi hari itu, saya melihat sesuatu yang jauh lebih penting: bahwa di tengah keadaan sulit, manusia masih saling menggenggam.

Sebagian orang menunggu program pemerintah. Sebagian lain memilih langsung turun tangan. Dan sering kali, perubahan besar bermula dari niat kecil seseorang yang tidak ingin melihat tetangganya kehujanan.

Dan pagi ini, ketika angin menggerakkan daun rumbia yang baru dipasang, saya menyadari satu hal, Tidak perlu menjadi kaya untuk membantu. Cukup menjadi manusia yang tidak menutup mata.[]
×
Berita Terbaru Update