Safrizal bersama keluarga sedang menjemur kerupuk opak yang merupakan sumber ekonomi keluarga. Foto: Bustami/linkkamedia.id |
SUARA parutan mesin terdengar dari salah satu rumah di Gampong Meunasah Dayah, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Di teras rumah, seorang ibu tampak sibuk menjemur irisan tipis-tipis berwarna putih kekuningan di atas anyaman bambu. Irisan itu bukan sembarang potongan, melainkan adonan ubi kayu yang siap menjadi kerupuk opak makanan ringan khas dengan rasa gurih dan renyah.
Bagi masyarakat Gampong Meunasah Dayah, ubi kayu bukan sekadar tanaman biasa. Ia adalah sumber penghidupan, bahan baku utama yang diolah menjadi produk bernilai ekonomi, dan salah satu kebanggaan lokal yang diwariskan lintas generasi.
Ubi kayu atau singkong sejak lama menjadi tanaman andalan warga Meunasah Dayah. Selain ditanam di lahan sendiri, sebagian besar masyarakat juga membudidayakannya untuk memenuhi kebutuhan industri rumah tangga kerupuk opak. Lebih dari 30 persen warga gampong ini menggantungkan hidupnya pada usaha produksi kerupuk opak dengan skala rumahan.
Menariknya, meski setiap keluarga menjalankan usaha secara mandiri, mereka tetap terhubung dalam kelompok swadaya yang dibentuk masyarakat sendiri. Melalui wadah ini, para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) saling membantu, baik dalam pemasaran maupun ketika menghadapi masalah seperti kelangkaan bahan baku.
Kerupuk opak yang siap dijual ke pasar. Foto: Bustami/linkkamedia.id |
“Kalau kami sendiri-sendiri, susah mengatasi kendala. Tapi dengan kelompok, bisa saling berbagi informasi dan mencari jalan keluar bersama,” tutur Safrizal (48), salah seorang perajin UMKM opak yang sudah puluhan tahun menekuni usaha ini bersama istrinya, Yusniyar (45), Senin (8/9/2025) .
Proses pembuatan kerupuk opak di Meunasah Dayah masih terbilang sederhana. Ubi kayu yang didapat dari kebun pribadi maupun petani sekitar dikupas, dicuci, lalu diparut menggunakan mesin. Setelah itu, hasil parutan dicampur dengan bumbu, dicetak manual dengan cetakan kayu atau plastik, lalu dijemur di bawah terik matahari hingga kering sempurna.
Penjemuran bisa memakan waktu dua hingga tiga hari, tergantung kondisi cuaca. Bila matahari bersinar terik, kerupuk bisa cepat kering. Namun jika mendung atau hujan, produksi seringkali tertunda.
“Kalau musim hujan, kami harus pintar-pintar mengatur stok. Kadang sampai kerupuk menumpuk menunggu panas matahari,” tutur yusniyar sambil menata irisan kerupuk di atas tampah.
Setelah kering, kerupuk dikemas dalam ikatan berisi sepuluh keping dengan harga Rp3.000 per ikat. Kerupuk ini kemudian dijual ke pasar tradisional, pedagang pengecer, konsumen langsung, hingga dikirim ke luar daerah seperti Banda Aceh.
Permintaan pasar terhadap kerupuk opak dari Meunasah Dayah sebenarnya cukup tinggi. Sayangnya, produksi sering kali tidak sebanding dengan kebutuhan. Ada beberapa faktor penyebabnya.
Pertama, ketersediaan bahan baku. Harga ubi kayu kerap berfluktuasi di kisaran Rp3.000 hingga Rp4.000 per kilogram, membuat biaya produksi tidak stabil. Kadang kala petani kewalahan memenuhi kebutuhan bahan baku ketika permintaan meningkat.
Kedua, modal usaha yang terbatas. Sebagian besar pelaku usaha adalah ibu rumah tangga yang mengandalkan modal pribadi. Kondisi ini membuat mereka sulit memperluas kapasitas produksi atau membeli peralatan yang lebih modern.
Ketiga, proses produksi yang masih tradisional. Hanya pemarutan yang sudah terbantu dengan mesin, sementara pencetakan masih manual dan penjemuran mengandalkan sinar matahari. Bila teknologi pengolahan lebih modern, tentu hasil produksi bisa lebih cepat dan higienis.
Keempat, sistem promosi yang masih sederhana. Produk kerupuk opak sebagian besar hanya beredar di pasar lokal dan dari mulut ke mulut. Padahal, dengan kemasan menarik dan strategi pemasaran yang baik, produk ini bisa menembus pasar yang lebih luas.
Ironisnya, hingga kini usaha kerupuk opak belum masuk dalam unit bisnis Badan Usaha Milik Gampong (BUMG). Padahal, potensi yang dimiliki cukup besar untuk dikembangkan sebagai salah satu produk unggulan gampong.
Humaira sedang melakukan parutan ubi untuk pembuatan kerupuk opak menggunakan mesin parut kelapa. Foto: Bustami/linkkamedia.id |
“Kalau ada dukungan dari BUMG, kami lebih mudah memperluas usaha. Apalagi kalau ada bantuan permodalan dan pemasaran,” harap Safrizal.
Tanpa dukungan kelembagaan gampong, usaha ini tetap berjalan dengan keterbatasan. Namun semangat masyarakat untuk mempertahankan tradisi kuliner ini tak pernah padam.
Kerupuk opak singkong dari Meunasah Dayah bukan sekadar makanan ringan. Ia adalah simbol ketekunan masyarakat dalam mengolah hasil bumi menjadi peluang ekonomi. Di balik setiap keping kerupuk, tersimpan cerita tentang kerja keras ibu rumah tangga, kebersamaan dalam kelompok swadaya, serta harapan untuk kehidupan yang lebih baik.
Bagi warga Meunasah Dayah, mempertahankan tradisi membuat opak berarti juga menjaga identitas lokal. Di tengah derasnya arus modernisasi, keberadaan kerupuk opak menjadi bukti bahwa kearifan lokal bisa bertahan sekaligus berkontribusi pada perekonomian masyarakat.
“Selama masih ada yang mau makan opak, kami akan terus membuatnya,” ucap Yusniyar dengan senyum penuh keyakinan.
Melihat potensi dan antusiasme masyarakat, usaha kerupuk opak layak mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak. Dukungan modal, inovasi teknologi, pelatihan pengemasan, hingga promosi digital bisa menjadi langkah konkret untuk membawa opak Meunasah Dayah ke pasar yang lebih luas.
Apabila dikelola secara profesional, kerupuk opak tidak hanya menjadi camilan khas, tetapi juga motor penggerak ekonomi gampong. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menikmati hasil bumi, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi produk bernilai tinggi yang mengangkat nama daerah.[]
Penulis Bustami