-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Editorial Satir: Tukin, Dibayar 6 Bulan Sekali atau Per 1 Detik?

Selasa, 09 September 2025 | September 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-09T11:11:41Z


Menurut sebagian orang bijak (dan sebagian lagi bijak-bijakan), Tukin itu lebih baik dibayar 6 bulan sekali. Katanya biar banyak. Jadi pas cair, rasanya kayak menang lotre. Sekali swipe ATM, saldo bisa bikin mesin ATM error: “Saldo Anda melebihi kapasitas layar, silakan print struk.”

Tapi ada pula kubu realistis, yang bilang: “Halo, ini bukan dunia Doraemon. Uang dibayar sebulan sekali biar aman. Kalau 6 bulan sekali, negara tiba-tiba pailit, kita yang tinggal makan mi instan rasa angin.”

Dr. Ayi punya teori manajemen keuangan versi survivor: kalau uang cair, biasanya langsung ludes. Maka ide briliannya: 6 bulan sekali aja, biar ada kesempatan mikir. Masalahnya, begitu cair, tetap saja ada dua kemungkinan: beli kebutuhan, atau beli kebutuhan palsu. Kebutuhan nyata: beras, susu anak, listrik. Kebutuhan palsu: Macbook, iPhone, dan kopi 50 ribu gelas mini yang katanya single origin.

Lalu ada suara nyeleneh dari Pak Muhammad: “Kamoe han ek pike Macbook Pro. Yang penting UKT dan kos anak tiap bulan lancar.” Nah, ini baru calon menantu idaman mertua. Sementara yang lain, sudah mikir cicilan apartemen, umrah, bahkan ada yang mau jalan-jalan ke Hongkong dulu sebelum Tukin cair.

Pak Bram paling jujur sekaligus licin. Katanya, “Setor aja ke saya tiap bulan. Kalau 6 bulan sekali, saya deposito dulu. Nanti kalau jatuh tempo, saya bilang sistem error.” Nah, kalau tipe begini, cocok jadi Menteri Keuangan cadangan.

Ada juga solusi kreatif: Tukin dibayar tiap hari aja, kayak uang jajan. Jadi dosen bisa isi bensin motor sambil beli gorengan, nggak perlu nunggu tanggal tua. Tapi kelemahannya, sehari habis juga, cuma beda tempo.

Pak Khaidir mencoba mendamaikan: “Setiap bulan dibayar sekaligus, gaji + serdos + Tukin + uang makan. Sekali cair, saldo kita mirip akun pejabat TikTok yang suka pamer mutasi miliaran.” Tapi hati-hati, kata Pak Lukman: “Kalau negara lagi seret, kita ikut jadi korban. Mending cair bulanan biar dompet tetap ada isi walau receh.”

Prof Jamal lebih logis lagi: “Kalau 6 bulan sekali, negara bisa ngos-ngosan. Bayar listrik kantor aja suka telat, apalagi Tukin.” Wajar kalau beliau profesor, logikanya lebih tajam dari pisau dapur baru.

Sementara RF nyinyir ala motivator: “Jangan beli produk bekas gigitan Steve Jobs. Mending umrah atau investasi apartemen.” Betul juga, tapi kalau lihat diskon Macbook di flash sale, iman bisa goyah.

Akhirnya, kesimpulan editorial satir ini jelas: Tukin mau cair bulanan, 6 bulanan, atau tahunan, tetap saja begitu uang masuk rekening, efeknya sama: cet-cet pret. Bahkan ada yang bilang lebih baik dibayar per 1 detik, biar setiap nafas ada notifikasi SMS masuk: “Saldo Anda bertambah Rp 2.000.” Minimal bisa semangat hidup.

Kalau direnungkan, perdebatan Tukin ini sebenarnya mirip debat kopi: ada yang suka sachet, ada yang suka tubruk, ada yang sok-sokan single origin. Padahal, mau sachet atau tubruk, hasil akhirnya tetap sama: bikin melek. Mau Tukin bulanan atau 6 bulanan, hasil akhirnya tetap sama: bikin lapar sebelum tanggal tua.

Dan yang paling lucu, ujung-ujungnya semua orang sepakat: “Yang penting Tukin cair dulu, masalah habisnya nanti kita bahas di rapat berikutnya.”

Masalah Tukin ini ibarat cinta. Ada yang mau bulanan, ada yang mau 6 bulanan, tapi yang paling sering kejadian: PHP alias Pemberi Harapan Palsu. Di kalender sudah ditandai tanggal cair, eh tiba-tiba muncul pengumuman: “Sistem sedang mengalami gangguan. Harap bersabar, ini ujian.” Ujung-ujungnya dosen jadi lebih taat doa daripada mahasiswa yang lagi UAS.

Ada pula teori baru dari beberapa kolega: Tukin jangan dibayar bulanan atau 6 bulanan, tapi dibayar sesuai kinerja harian. Kalau ngajar satu SKS dengan semangat penuh, saldo langsung masuk Rp 100 ribu. Kalau ngajar sambil baca WhatsApp, saldo dikurangi Rp 50 ribu. Sistem ini akan lebih mendidik, sekaligus bikin dosen disiplin. Sayangnya, kalau dipakai, bisa-bisa negara hemat banyak karena separuh dosen tiba-tiba minus saldo.

Satir berikutnya datang dari isu klasik: pejabat universitas. Katanya, SPPD mereka lebih besar daripada Tukin, Serdos, dan uang makan digabung. Jadi kalau rapat keluar kota, pulang-pulang bisa beli mobil baru. Dosen biasa? Pulang dari kelas cuma bisa bawa absen mahasiswa yang penuh coretan. Inilah yang disebut teori “keadilan semu.”

Ada juga yang bilang, Tukin kalau dibayar bulanan lebih baik buat yang sudah punya istri, anak, cicilan rumah, cicilan motor, sampai cicilan kursi plastik. Kalau dibayar 6 bulanan, cocok buat yang masih lajang, karena duitnya bisa langsung buat DP mobil. Tapi tetap saja, baik bujang maupun beranak pinak, semua punya penyakit sama: begitu saldo masuk, pikiran langsung terbang entah kemana.

Lebih satir lagi, ada usulan Tukin dibayar dalam bentuk barang, bukan uang. Misalnya, bulan ini dapat 2 karung beras, bulan depan 1 ekor kambing, bulan berikutnya 1 unit kipas angin. Jadi minimal kebutuhan pokok aman. Tapi repotnya, kalau ada yang dapat kambing pas tinggal di kos-kosan, bisa jadi masalah lingkungan.

Dan terakhir, satu ide paling absurd tapi layak dicatat: Tukin jangan cair via rekening, tapi lewat QRIS. Jadi setiap kali kita mengajar, bimbingan, atau sidang skripsi, mahasiswa tinggal scan barcode kita, saldo langsung masuk. Praktis, modern, sekaligus bisa bikin mahasiswa tahu: dosennya juga butuh duit, bukan cuma butuh absensi.[]

 

Asrianda, Dosen Universitas Malikussaleh 

×
Berita Terbaru Update