Oleh Asrianda, Dosen Universitas Malikussaleh
APA yang dimulai dari ruang audiensi sederhana kini telah menjelma menjadi gerakan nasional. Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) bukan sekadar organisasi, melainkan simbol perjuangan para dosen ASN muda yang tak tinggal diam saat ketimpangan terjadi.
Semua bermula pada Januari 2024. Di tengah rutinitas akademik, para dosen ASN rekrutan 2023 menerima kabar menggembirakan: tunjangan kinerja (tukin) kemungkinan besar akan direalisasikan, sebagaimana disampaikan oleh Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek. Bagi mereka, ini adalah bentuk pengakuan awal atas kerja keras yang selama ini luput dari perhatian.
April 2024 menjadi momen konsolidasi awal. Tim Makassar berkumpul, membicarakan arah perjuangan dan menyusun strategi. Di bulan berikutnya, sosok sentral perjuangan, Bu Fatimah, mulai mengkaji regulasi yang selama ini menjadi penghambat. Pada Juni, atas inisiatifnya, sebuah grup komunikasi digital dibentuk, mempertemukan dosen-dosen dari berbagai penjuru Indonesia dalam satu wadah perjuangan.
Juli 2024 menandai bergabungnya para dosen ASN 2023 ke dalam grup tersebut. Namun perjuangan bukan tanpa tantangan. Agustus diwarnai dinamika internal, perbedaan cara berkomunikasi antara dosen muda dan senior sempat memicu ketegangan. Namun, September membawa angin segar. Konsolidasi menguat lewat audiensi Bu Fatimah dengan SPK, Direktorat Lembaga, hingga DPR RI. Perjuangan mulai mengambil bentuk yang lebih nyata.
Memasuki Oktober hingga Desember 2024, pergerakan tak lagi terbatas di balik layar. Aksi dimulai dari PTN Satker dan politeknik, dilanjutkan dengan gerakan digital melalui grup “Kopasus” dan “Atensi Sosmed”. Media sosial dimanfaatkan sebagai sarana menggalang opini publik dan menyebarkan pesan perjuangan.
Januari 2025 menjadi tonggak sejarah: nama ADAKSI resmi diluncurkan. Konsolidasi nasional pertama pun digelar, disertai aksi simbolik berupa pengiriman papan bunga ke berbagai institusi, menandai kehadiran ADAKSI sebagai kekuatan kolektif.
Februari 2025 adalah puncak tekanan publik. Aksi demo digelar, audiensi dilakukan di berbagai lini. PTN BH dan BLU seperti UNSRAT, UNHAS, UNAND, hingga UGM ikut bergabung. Tekanan ini menghasilkan respons tinggi: konferensi pers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wakil Ketua DPR RI Dasco pun dilakukan, menandai bahwa isu tukin telah menjadi agenda nasional.
Maret membawa hasil nyata—proses bypass Perpres mulai dibuka. April menyambut terbitnya Permen sebagai hasil perjuangan konkret. Lalu pada Mei, Musyawarah Nasional (Munas) pertama ADAKSI digelar. Forum ini menyatukan suara dari Sabang hingga Merauke, memperkuat legitimasi ADAKSI sebagai gerakan nasional dosen ASN.
Kini, Juni 2025, ADAKSI memasuki fase konsolidasi kelembagaan. Penyusunan Peraturan Organisasi (PO) tengah dilakukan. Namun semangat tak pernah padam. Fokus mulai diarahkan pada program-program strategis untuk mendukung kesejahteraan dan kualitas dosen ASN ke depan.
Perjuangan ADAKSI bukan tanpa beban. Di balik aksi dan rapat daring yang intens, para dosen harus tetap menjalankan tridharma perguruan tinggi: menulis modul, menguji skripsi, menyiapkan akreditasi—semuanya dilakukan sembari memantau perkembangan isu tukin. Ini adalah bentuk perjuangan ganda: mengabdi kepada negara melalui pendidikan sekaligus memperjuangkan hak dan keadilan profesi.
Salah satu kekuatan utama ADAKSI terletak pada solidaritasnya. Dari politeknik di Indonesia Timur hingga universitas di barat, dari dosen muda hingga akademisi senior, semua setara dalam perjuangan. Diskusi-diskusi yang awalnya kaku, perlahan mencair menjadi kolaborasi yang penuh empati dan rasa saling memahami.
ADAKSI kini juga mulai dilihat sebagai kekuatan moral baru dalam dunia pendidikan tinggi. Tak hanya sebagai pengkritik, mereka mulai diterima sebagai mitra strategis oleh pimpinan kampus, birokrat kementerian, hingga anggota legislatif. Tak menutup kemungkinan, ke depan ADAKSI akan menempati posisi resmi dalam dialog kebijakan nasional.
Kini, perjuangan ADAKSI telah melampaui isu tukin. Mereka mulai mengangkat isu-isu strategis lainnya: rekognisi kinerja dosen yang objektif, keadilan antara ASN pusat dan daerah, hingga reformasi sistem pengembangan karier yang berorientasi pada mutu. Visi ADAKSI bersifat progresif—mewujudkan ekosistem akademik yang adil, sejahtera, dan bermartabat.
ADAKSI juga memahami pentingnya membangun narasi publik. Di era digital, persepsi adalah kekuatan. Media sosial, infografis, testimoni personal, hingga poster edukatif menjadi senjata komunikasi mereka. Semua dilakukan secara cerdas, tanpa agitasi, namun dengan data dan konsistensi.
Keunggulan ADAKSI terletak pada kemampuannya merawat momentum. Dari satu audiensi ke aksi berikutnya, dari bulan ke bulan, semangat tidak pernah surut. Bahkan ketika hasil belum sesuai harapan, mereka tetap bergerak. Membangun struktur internal, menyusun strategi jangka panjang, dan memperluas jaringan perjuangan.
Kini, semua mata tertuju pada langkah selanjutnya. ADAKSI tak bisa hanya berhenti pada perjuangan tukin. Ia telah menjelma menjadi simbol kebangkitan dosen ASN—bahwa profesi ini bisa bersuara, berdiri sejajar, dan mengubah sistem. Perjalanan masih panjang, tetapi satu hal telah terbukti: suara kolektif yang terorganisir mampu mengetuk kekuasaan dan mengubah kebijakan.[]