Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Ketika Etika Akademik Dikorbankan demi Publikasi

Jumat, 04 Juli 2025 | Juli 04, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-04T15:58:22Z


Oleh Asrianda, Dosen Universitas Malikussaleh

 
Dorongan untuk menerbitkan publikasi ilmiah telah menjadi tekanan sistemik yang membebani dosen-dosen di berbagai perguruan tinggi. Sayangnya, tekanan ini tidak selalu menghasilkan peningkatan kualitas riset. Dalam banyak kasus, justru melahirkan kompromi terhadap prinsip integritas ilmiah. Salah satu bentuk yang paling meresahkan adalah kecenderungan sebagian dosen memublikasikan artikel hasil skripsi atau tesis mahasiswa tanpa mencantumkan nama mahasiswa tersebut sebagai kontributor. Lebih dari sekadar pelanggaran etika kolaboratif, praktik ini seringkali beriringan dengan penggunaan data yang direkayasa atau bahkan sepenuhnya palsu.

Fenomena ini menjadi semakin serius ketika artikel hasil manipulasi tersebut diterbitkan di jurnal internasional terindeks Scopus. Pada tahap awal, artikel tampak “berprestasi” menambah portofolio akademik dosen, memperkuat akreditasi institusi, hingga mempercepat kenaikan jabatan. Namun, dibalik citra semu tersebut, mulai muncul masalah serius. Banyak artikel semacam ini ternyata diterbitkan di jurnal yang kemudian teridentifikasi sebagai predator: jurnal yang secara formal terindeks namun tidak menjalankan proses peer-review secara etis dan substansial. Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang penarikan (retraction) dan penghapusan (delisting) jurnal dari database Scopus semakin meningkat, dan salah satu penyebab utamanya adalah tingginya volume publikasi bermasalah dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Skema ini memunculkan dua kerusakan sekaligus. Pertama, pelanggaran hak akademik mahasiswa yang semestinya menjadi pemilik sah dari data, ide, dan analisis yang dihasilkan dalam tugas akhirnya. Kedua, publikasi hasil rekayasa data telah mempermalukan reputasi ilmiah secara global. Ketika satu artikel dengan data fiktif berhasil menembus jurnal yang saat itu masih terindeks Scopus, tidak hanya penulis yang diuntungkan secara instan, tetapi juga kampus dan lembaga yang menaungi. Namun ketika jurnal tersebut kemudian dinyatakan tidak memenuhi standar dan dicabut dari indeks Scopus, maka kerugian yang ditanggung bersifat kolektif. Banyak jurnal menjadi discontinued hanya karena dominasi kiriman artikel predator dari segelintir pelaku yang mengabaikan integritas ilmiah.

Ironisnya, reaksi yang muncul sering kali defensif, bukan introspektif. Alih-alih mengevaluasi sistem insentif publikasi yang terlalu kuantitatif, banyak institusi justru menggandakan tekanan kepada dosen agar segera “mengganti” jurnal dengan target baru, tanpa merefleksikan akar masalahnya: budaya akademik yang mengabaikan orisinalitas, kolaborasi yang adil, dan validitas metodologis. Bahkan, dalam beberapa kasus, publikasi semacam itu tetap diakui dalam penilaian kinerja dan kenaikan jabatan, meskipun jurnalnya telah dihapus dari database bibliometrik.

Situasi ini menunjukkan bahwa integritas akademik tidak cukup dijaga melalui aturan administratif semata. Diperlukan perubahan paradigma dalam memahami apa itu prestasi ilmiah. Publikasi bukan sekadar jumlah dan indeksasi, tetapi cermin dari proses riset yang jujur, terbuka, dan menghormati kontribusi semua pihak yang terlibat. Mahasiswa sebagai peneliti pemula memiliki hak penuh untuk diakui atas karya ilmiahnya, dan dosen memiliki kewajiban moral serta etis untuk membimbing, bukan mengeksploitasi.

Untuk memperbaiki situasi ini, dibutuhkan upaya kolaboratif antara lembaga pengelola indeks jurnal, otoritas pendidikan tinggi, dan komunitas akademik nasional. Mekanisme audit etik terhadap publikasi dosen yang berbasis skripsi atau tesis perlu diperkuat. Sistem peer-review di level institusi harus diperketat agar publikasi yang tidak etis dapat dicegah sebelum keluar dari pagar kampus. Dan yang paling mendasar: budaya penghargaan terhadap integritas harus ditanamkan sejak awal, bahkan sebelum publikasi itu dimulai.

Publikasi ilmiah semestinya menjadi medan untuk menjunjung kebenaran, bukan ruang kelabu untuk permainan citra. Ketika jurnal predator masuk ke indeks bereputasi dan artikel hasil manipulasi tersebar atas nama akademisi, maka yang rusak bukan hanya satu artikel atau satu jurnal, melainkan kepercayaan dunia terhadap integritas ilmiah kita semua.

Lebih mengkhawatirkan lagi, praktik manipulatif ini bukan hanya terjadi secara individual, tetapi mulai membentuk semacam “ekosistem oportunistik” di sejumlah perguruan tinggi. Dosen, pengelola jurnal internal, bahkan panitia konferensi semu, saling menopang dalam sistem yang menormalisasi publikasi tanpa substansi. Dalam ruang-ruang ini, akreditasi institusi dan pemeringkatan global dijadikan dalih untuk memproduksi sebanyak mungkin artikel, terlepas dari kualitas maupun integritasnya. Mahasiswa yang karya ilmiahnya disalin atau dimodifikasi tanpa pengakuan pun sering kali tidak menyadari bahwa hak akademiknya telah dilanggar secara sistematis.

Celakanya, ketika satu artikel bermasalah berhasil terbit, ia membuka jalan bagi artikel-artikel serupa lainnya, menciptakan precedent yang secara tidak langsung melegitimasi tindakan pelanggaran integritas. Terlebih lagi, ketika jurnal yang memuat artikel tersebut belum diketahui sebagai predator, keberadaannya justru dianggap sah dan diakui dalam penilaian BKD, sertifikasi, atau rekognisi lainnya. Ketika akhirnya jurnal tersebut dicabut dari Scopus karena temuan pelanggaran, maka penarikan artikel bukan hanya merugikan penulis, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan terhadap institusi pengirim dan negara asalnya. Reputasi ilmiah bukan sekadar soal indeksasi, tetapi akumulasi dari kredibilitas yang dibangun dalam jangka panjang.

Kini, tantangan terbesar bukan sekadar mendeteksi artikel predator atau menyoroti jurnal bermasalah, tetapi membenahi mentalitas dan sistem yang melahirkan praktik tersebut. Dunia akademik Indonesia membutuhkan refleksi mendalam tentang nilai-nilai kejujuran ilmiah, kepemilikan intelektual, dan etika publikasi. Tanpa reformasi budaya akademik yang menyeluruh, dari ruang bimbingan skripsi hingga ruang rapat senat universitas—maka tekanan publikasi hanya akan terus melahirkan karya ilmiah tanpa jiwa, yang pada akhirnya menghancurkan kredibilitas akademisi, institusi, dan bangsa di mata dunia.[]

×
Berita Terbaru Update